Sedangkan untuk dampak jangka panjang dari stunting yaitu obesitas, peningkatan risiko penyakit tidak menular, bentuk tubuh pendek saat dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang. Dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K) mengungkapkan, stunting hanya bisa teratasi selama periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun dan masa di mana otak anak berkembang pesat. ASI Eksklusif, katanya, penting diberikan selama 6 bulan pertama dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun. "Pada tahap pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI), orangtua harus memperhatikan pola asupan gizi yang seimbang, terutama untuk memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi, dan protein hewani," katanya. Damayanti mengungkapkan itu dalam seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) yang digelar Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI).
Sementara itu, Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) mengungkapkan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani yaitu telur dan susu. "Karena (telur dan susu) memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak," katanya. Sayangnya, pada kenyataannya, asupan protein hewani pada anak-anak di Indonesia tergolong rendah. Dalam salah satu studi ditemukan, bahwa asupan protein hewani yang rendah ini berkontribusi terhadap tingginya prevalensi stunting. Anak yang tidak mengkonsumsi jenis protein hewani apa pun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang mengonsumsi tiga jenis protein hewani yaitu telur, daging, dan susu. Dibandingkan makanan sumber protein hewani lainnya, susu adalah yang paling erat hubungannya dengan angka stunting yang rendah karena konsentrasi plasma insulin-like growth factor (IGF-I) dan IGF-I/IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun secara positif berkaitan dengan panjang badan dan asupan susunya.
Sayangnya, di Indonesia usia pemberian susu tergolong terlambat karena banyak setelah anak berusia lebih dari 1 tahun. Kondisi ini meningkatkan risiko stunting sebanyak 4 kali pada anak usia 2 tahun. Oleh karena itu, menurut Ahmad Syafiq, Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKMUI, diperlukan analisis dan pendekatan gizi kesehatan masyarakat untuk dapat secara efektif merancang program yang berbasis evidence dan berfokus pada pencegahan. "Terobosan pencegahan stunting juga perlu melibatkan seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) dan memberdayakan masyarakat agar semua pihak mampu terlibat secara aktif dalam upaya penurunan stunting," katanya.
Perwakilan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Entos Zainal mengungkapkan, fokus Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 akan menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk di bidang kesehatan. Ilustrasi anak sekolah dasar (SD)(KOMPAS.com/Indra Akuntono) “Stunting mengakibatkan kerugian negara setara 4 Triliyun per tahun atau sebesar 3 persen dari PDB, sehingga percepatan penangangan stunting tetap menjadi salah agenda besar pemerintah ke depan," katanya. "Untuk mencapai target capaian prevalensi stunting sebesar 19 persen di tahun 2024 tentunya bukan tugas yang mudah." Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan, inovasi dan kerjasama lintas sektor termasuk kerjasama dengan akademisi dan pihak swasta untuk segera menangani hal ini secara konkrit.
Bersama Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Damayanti, mengembangkan pilot project Aksi Cegah Stunting di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hasil inisiatif tersebut menunjukkan penurunan prevalensi stunting sebesar 8,4 persen dalam 6 (enam) bulan dari 41,5 persen menjadi 33,1 persen atau mencapai 4,3 kali lipat dari target tahunan WHO. Dalam pilot project ini, pendekatan intervensi gizi spesifik dilakukan dalam beberapa fokus termasuk; melakukan training kepada tenaga kesehatan dan kader posyandu, mengembangkan sistem rujukan berjenjang untuk balita stunting dan berisiko stunting, dan implementasi tata laksana stunting oleh dokter spesialis anak dengan pengawasan yang dibantu oleh dokter, tenaga gizi, dan bidan puskesmas.
Dalam pencegahan stunting, pemantauan status gizi dan antopometri anak perlu dilakukan secara berkala. Deteksi dini status gizi balita dilakukan secara berjenjang mulai dari Posyandu, Puskesmas hingga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Jika di Posyandu ditemukan anak dengan Berat Badan atau Tinggi Badan < -2 standar deviasi (SD), maka perlu dirujuk ke Puskesmas. “Jika di Puskesmas didapati penyakit penyerta lain atau growth faltering maupun gizi buruk, maka anak akan di rujuk ke RSUD untuk mendapatkan diagnosis medis dari Dokter Spesialis Anak," kata Damayanti. "Bahkan pada beberapa kondisi medis tertentu, apabila diperlukan, pasien akan disertai dengan preskripsi PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus) untuk membantu mengejar ketertinggalan berat badan dan tinggi badan mereka."
No comments:
Post a Comment