info berita - Program pemerintah Korea Selatan (Korsel) untuk mengekspor lulusan kuliah yang menganggur telah makin populer. Para anak muda pun mendaftar ke program yang mengirim mereka untuk bekerja di luar negeri selama beberapa waktu. Dilaporkan Reuters, program ini terlaksana karena banyak lulusan kuliah tidak bisa mendapat pekerjaan akibat terlalu banyak saingan. Salah satu program pemerintah adalah K-move yang tahun lalu saja menemukan pekerjaan di 70 negara untuk 5.783 lulusan. Angka itu naik tiga kali lipat dari tahun 2013 ketika program dimulai. Hampir sepertiga dari mereka bekerja di Jepang yang justru sedang kekurangan tenaga kerja. Cho Min Kyong (27) bekerja sebagai insinyur di Nissan, Jepang, karena 10 lamaran kerjanya ditolak perusahaan Korsel.
"Bukannya saya tidak cukup mumpuni. Yang jelas terlalu banyak pencari kerja seperti saya, itulah kenapa banyak yang gagal. Ada lebih banyak peluang di luar Korea," ujarnya yang sekarang bekerja di daerah Atsugi, barat daya Tokyo. Program di Korsel ini tidak menuntut kewajiban apa-apa dari pesertanya. Yang jelas, pemerintah Korsel berusaha agar para lulusan muda ini tidak jatuh miskin. "Kehilangan modal manusia bukanlah yang dicemaskan pemerintah saat ini. Namun, yang lebih urgent adalah mencegah mereka jatuh ke kemiskinan," ujar Kim Chul Ju, Deputy Dean di Asian Development Bank. Ketika program seperti ini mulai pada tahun 2013, ada hampir satu dari lima pemuda Korsel tidak memiliki pekerjaan. Pada Maret lalu, satu dari empat warga Korsel berusia 15-29 tahun juga tidak memiliki pekerjaan.
Ada yang menganggur karena pilihan sendiri, maupun karena tidak dapat pekerjaan. Namun, program ekspor pekerja ini juga tidak selalu seindah ekspektasi. Keluhan yang muncul dari program ini adalah pekerjaan tidak seindah yang dijanjikan. Sejumlah orang Korsel yang bekerja di luar negeri malah jadi pencuci piring atau bekerja di tempat pengolahan daging di wilayah perkampungan Australia. Ada pula yang mendapat salah info terkait gaji dan kondisi kerja. Le Sun Hyung (30) mengaku hanya mendapat sepertiga dari yang dijanjikan. Ia sempat bekerja sebagai pelatih renang di Australia berkat program K-move.
"Gajinya tidak seperti yang saya harapkan. Saya bahkan tak mampu membayar sewa," ujarnya. Akhirnya, Lee kerja sambilan membersihkan jendela sebelum pulang ke Korsel. Pemerintah Korsel pun membuat daftar hitam perusahaan. Kementerian Tenaga Kerja pun mendirikan pusat pengaduan untuk mengatasi masalah ini. Hal lain adalah banyak orang yang ikut program ini justru tidak merespons permintaan Kemenaker mengenai lokasi mereka, atau mengganti kontak mereka. Mereka yang kembali dari luar negeri pun masih ada yang harus mencari pekerjaan lagi. Meski demikian pihak pemerintah terus menambah anggaran demi program ini dengan alasan kebutuhan. Pada tahun 2015, anggarannya sebesar 57,4 miliar won, lalu tahun lalu menjadi 76,8 miliar won.
Masih ada pekerjaan pabrikan di Korsel. Tetapi, banyak lulusan universitas di sana yang selektif dalam memilih kerja. Pebisnis pun bergantung ke tenaga kerja asing, termasuk yang berasal dari Indonesia. "Warga lokal tidak mau pekerjaan ini, karena mereka pikir pekerjaan ini merendahkan, jadi kami terpaksa mempekerjakan banyak tenaga asing," ujar Lim Chae Wook, pengurus pabrik kabel di Ansan. Chief executive Hyundai Tech, Kim Yong Gu, dari kota Gwangju berkata tenaga kerja asing lebih mahal. Tetapi ia tak punya pilihan karena harus mengisi posisi dan khawatir pekerja kabur ke pabrik lain. Terdapat 13 tenaga dari Indonesia yang bekerja di tempatnya. Mereka tidur dan makan di gedung sebelah pabrik. "Kami membayar akomodasi, makanan, dan biaya utilitas lain agar mereka tidak pergi ke pabrik lain," ujar Kim.
No comments:
Post a Comment